Kamis, 02 Oktober 2008

Teratur.. tidak teratur...

Ramadhan yang baru lewat dan lebaran tahun ini merupakan yang pertama yang saya lakukan di Adelaide, kota tempat saya tinggal untuk 2 tahun kedepan. Hampir gak ada bedanya dengan hari-hari biasa... makanya saya mengambil cuti di minggu lebaran walaupun ada pisuhan (http://wiki.cahandong.org/Pisuhan) dari bos dan tetep harus "working from home" memantau email setiap hari.
Satu hal yang perlu disyukuri, saya hampir selalu bisa berbuka puasa di rumah (dibandingkan di Jakarta yang rasanya mustahil untuk berbuka puasa di rumah... sudah pulang "teng go" jam 5 sore, tetep gak keburu, walaupun jarak kantor di kuningan dan rumah di tebet hanya 7 km).
Lalu lintas yang lancar dan teratur membuat waktu tempuh dari klien ke rumah hanya 20 menit untuk jarak 15 km di tengah "peak hour", inipun masih dengan catatan kecepatan maksimun yang diperbolehkan rata-rata 60 km/jam di daerah "suburb", kalau sudah memasuki city (pusat kota) akan turun jadi 50 km/jam. Saya membayangkan kalau saya mengendarai mobil di Jakarta dengan kecepatan 60 km/jam di jalanan yang lancar.. nyaring klakson akan sering mampir ke telinga saya, memerintahkan supaya berkendara lebih cepat. 


Bicara masalah lalu lintas, ketaatan dan keteraturan masyarakat di kota saya sekarang terhadap aturan (tidak hanya) lalu lintas sangat tinggi. Kalau ada rambu-rambu stop ya stop, kalo ada rambu-rambu untuk mendahulukan pejalan kaki ya pejalan kaki didahulukan, apalagi kalo lampu lalu lintas berwarna merah.. waktu kuning aja mereka akan bersiap untuk berhenti. Ingatan saya kembali pada saat saya mengendarai mobil di Medan untuk pertama kalinya. Saat itu lampu lalu lintas sudah menunjukkan merah, saya pun berhenti tepat di belakang marka zebra cross... tak dinyana.. nyaring klakson (dari lebih dari 5 kendaraan) menyambar telinga saya. Saya melirik kaca spion untuk melihat apa yang terjadi, ternyata mereka meminta (lebih tepatnya menyuruh) saya untuk menjalankan kendaraan... salah satu dari mereka bahkan berteriak... "woi, jalanan kosong tunggu apa kau"... lho... sepertinya lampu lalu lintas bukan lagi merah, ijo dan kuning tapi ijo, ijo dan ijo buat mereka (pak Dafi yang sekarang tinggal di sana mungkin sudah mahfum.. hehehe..)
Batasan kecepatan rata-rata 60 km/jam pada awalnya membuat saya yang "speed lover" sangata tersiksa, mengingat ring road selatan Jogja dulu saat kuliah jadi kawan akrab tiap minggu dini hari setelah clubbing (dugem kalo kata om yudha... ) untuk memacu honda grand civic (punya bokap yang udah di-oprek) di sekitaran 150 km/jam... ataupun jalan asia afrika di senayan dulu saat belum kawin untuk memacu honda genio (masih punya bokap) di sekitaran kecepatan yang sama.... Tapi syukurlah sekarang saya sudah terbiasa mengendarai tunggangan saya, honda new civic 2008 yang masih nyicil, di kecepatan 60 km/jam at the maximum walaupun kadang-kadang digeber sampe 80 km/jam sambil memperhatikan apakah ada speed camera atau gak :) Salah satu teman dari Indonesia pernah tertangkap speed camera karena mengemudikan mobilnya pada kecepatan melebihi yang ditentukan... surat tilang pun mampir ke kotak suratnya... 100 dolar pun harus disetor.. lumayan... kalo di Indonesia bisa buat bayar oknum pak polisi 15 kali dengan asumsi 50rban sekali "nyogok"... jadinya gak kebayang kalo di Jakarta dipasang speed camera, berapa banyak yang kena tilang...  
Saya pernah kena tilang satu kali.. karena lupa memperlihatkan bukti bayar parkir di dashboard mobil supaya terlihat dari luar. Bukti pelanggarannya hanya ditempelkan di wiper depan mobil merinci pelanggaran yang saya buat, denda pelanggaran, batas waktu pembayaran serta cara pembayarannya.. dan apabila kita menolak untuk membayar kita punya hak untuk membela diri di pengadilan. Saya memutuskan untuk membayar denda (karena emang jelas salah saya) dengan menggunakan kartu kredit melalui internet. Saya sekali lagi membayangkan kalo hal ini diterapkan di Indonesia... bisa-bisa ada sebagian pihak atau institusi yang kehilangan pendapatan sampingan :) hehehe..
 
Waduh maap nih... dari pembicaraan awal buka puasa bisa di rumah malah merembet ke masalah keteraturan lalu lintas di kota tempat tinggal saya sekarang..
Tapi yang aneh dari saya adalah, setiap ada rekan atau teman yang bertanya apakah saya akan memutuskan untuk menjadi permanen resident di Australia atau tidak... saya selalu menjawab "gak" (at least sampai saat ini)... saya masih lebih memilih untuk tinggal di Indonesia dengan segala ketidakteraturannya... mungkin karena alam bawah sadar saya mengatakan saya masih orang Indonesia yang seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya suka dan akrab dengan ketidakteraturan.. hahaha...
Wah kalo banyak orang Indonesia masih seperti saya begini bisa repot... dari Presiden, anggota DPR, pejabat, sampe level pengemis pun pada gak teratur... "tanya kenapa???"
 
Selamat Lebaran, mohon maaf lahir dan batin...

0 komentar:

 
© Copyright by SMANSA MAGELANG  |  Template by Blogspot tutorial