Rabu, 22 Oktober 2008

TAAT ATURAN

Melihat tulisan Teratur Tidak Teratur , saya jadi ingin urun rembug.

Dulu, pertama kali datang ke Bandung(1996), salah satu yang membuat salut adalah ketaatan pengguna kendaraan. Bayangkan, jam 12 malam, jalanan kosong, lampu merah menyala, mobil masih pada nungguin. Beberapa tahun terakhir ini kebiasaan ini sudah mulai tereduksi seiring dengan ledakan penduduk yang membuat Bandung macet tak ubahnya Jakarta di pagi dan sore hari. Ditambah lagi ulah orang Jakarta memenuhi kebutuhan sosialnya untuk belanja dan makan.

Bandingkan di Magelang, kota kecil yang sepertinya masih mending. Saya punya pengalaman di Manado yang lebih unik lagi. Disana jarang sekali terlihat ada lampu merah. Tapi, ratusan angkot dan kendaraan lain dengan sabar saling memberikan kesempatan untuk berjalan.Tak ada polisi, tak ada lampu merah. Apakah ini pameo, tidak ada larangan, maka tidak ada pelanggaran. Hehehe. Nggaklah, saya masih percaya terhadap aturan kok. Saya melihatnya lebih karena adanya banyak kepentingan dan sedikitnya kesempatan. Di Jakarta misalnya. Dengan jutaan penduduk yang masing2 punya kepentingan di tengah persaingan yang ketat namun dibatasi dengan minimnya kesempatan, maka orang akan lebih mendahulukan kepentingannya bahkan cenderung melanggar aturan. Sekali lagi bandingkan dengan kota yang lebih kecil.

Ketaatan pada aturan sebenarnya juga tidak lepas dengan kesadaran berdemokrasi. Demokrasi tidak hanya melulu menuntut apa yang menjadi hak pribadi, tapi juga bagaimana menaati aturan yang disepakati dan menghormati kepentingan satu sama lain. Demokrasi sendiri sangat dipengaruhi tingkat ekonomi penduduk.

Menurut Budiono(mantan Menkeu), tingkat aman demokrasi kita, memerlukan pendapatan per kapita $6600 AS. Pendapatan per kapita ini dihitung menurut PPP(Purchasing Power Parity) yang disesuaikan dengan tingkat biaya hidup negara bersangkutan. Tahun 2007 pendapatan riil $800 dan perhitunggan PPP adalah $3000. Sumber lain menyebutkan $4000 an.

Pada tingkat penghasilan per kapita $1500-3000, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada $6000 probabilitas kegagalan jauh lebih kecil yaitu 1:500.

Seandainya kita menumbuhkan ekonomi tujuh persen setahun, maka dengan laju pertumbuhan penduduk 1,2 persen setahun, penghasilan per kapita tumbuh 5,8 persen setahun. Dengan laju ini, kita akan mencapai ambang zona aman demokrasi dalam sembilan(9) tahun(dari 2007). Apabila PDB tumbuh di bawah tujuh persen, waktu untuk mencapai zona aman bagi demokrasi lebih panjang lagi.

Kembali lagi ke masalah aturan. Apakah tidak ada warga yang benar-benar taat. Ada, tidak sedikit malah. Cuma ketaatan ini diukur secara kolektif. Sebagai contoh, masalah kemacetan. Anda mungkin sudah taat dan sabar, cuma mungkin pengguna lain ada yang tidak sabaran sehingga melanggar. Sehingga mau tidak mau, untuk tidak memperparah, kadang polisi memaklumkan kita untuk melanggar marka jalan untuk mempercepat laju.

Ingat Serat Kalatidha nya Ki Ronggo Warsito,
Menemui zaman edan.
Ikut edan tidak sampai hati.
Kalu tidak ikut edan tidak kebagian.
Akhirnya menderita kelaparan.
Namun sudah kehendak Allah.
Sebahagianya orang edan, ternyata masih lebih bahagia orang yang senantiasa ingat dan waspada.

(Dua kalimat terakhir sengaja saya kecilkan, biar agak gak kelihatan)

Contoh lain, adalah Anda bisa membandingkan suasana kerja di bisnis pelayanan publik ,bandingkan antara misalnya Customer Services ASTRO(darn, udah tutup, gak bisa nonton Simpson lagi..) dengan kelurahan untuk membuat KTP. Tergantung duitnya, tergantung lingkungannya. Hehehe, jelas perbedaan amat menyolok.

Contoh lain, orang bisa begitu tertib ketika antri di Blitz, tetapi di lain waktu bisa ganas ketika antri BLT atau zakat. Lihat kejadian terakhir di Pasuruan, Ramadhan lalu.

Jadi jelas untuk bisa sama dengan Adelaide masih butuh waktu puaaaaaaaaanjaaaaaaaaang. Mungkin malah tidak tercapai kalau pembandingnya Jakarta, yang digosipkan apabila Global Warming tidak bisa dicegah dan makin parah, 10 tahun lagi akan tenggelam.

1 komentar:

Anonimmengatakan...

.

 
© Copyright by SMANSA MAGELANG  |  Template by Blogspot tutorial